Senin, 10 April 2017

Tua Menurut Gabo

Hari Senin dikenal sebagai hari menyebalkan untuk beberapa pekerja. Sebenarnya, saya tidak ingin termasuk dalam golongan pembenci hari Senin, namun beberapa kali saya tidak bisa mengelak tentang Senin yang menyebalkan ketika saya bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan pula di hari pertama setelah libur berharga bagi para pekerja itu. Ketika di suatu Senin saya bertemu dengan mereka yang menyebalkan itu, saya hanya bisa meringis enggan marah dan memilih kabur ke Amerika Latin.





Jangan tertawa saat saya bilang saya memilih kabur ke negeri pembuat film telenovela itu dengan sangat mudah. Ya, pergi kesana semudah saya membuka lembaran novel pendek milik Gabriel Garcia Marquez. Dibalik cover buku berjudul Para Pelacurku yang Sendu itu saya menenggelamkan diri untuk menenangkan amarah agar tidak menumbuh-numbuhkan kebencian yang tidak perlu pada hari Senin. Di buku yang sempat saya tinggalkan tanpa menyentuh halaman akhirnya sejak saya membelinya bulan November tahun lalu, saya menemukan satu kalimat tentang 'tua' menurut tokoh Aku yang diceritakan oleh penulis peraih nobel sastra ini.

Beberapa orang, menganggap tua adalah perihal bertambahnya usia. Semakin banyak angka-angka untuk usia, maka setua itulah dirimu. Padahal, menjadi tua bukan hanya soal usia yang terus bertambah satu-persatu dari tahun ke tahun. Menjadi tua adalah tentang bagaimana pola pikir yang bertambah lalu berubah seiring dengan bertambahnya pula ragam pengalaman hidup. Tokoh Aku dalam buku ini mengalami pergolakan batin saat ia menyadari di usia 90 tahun kesendiriannya itu, ia telah jatuh cinta pada gadis 15 tahun yang dikenalkan padanya oleh Rosa Cabarcas -teman tokoh Aku, pemilik rumah bordir-. Ia menyadari seberapa tua usianya hingga alam sadarnya meminta ia untuk berhenti mengikuti kesenangan sesaatnya saat Rosa Cabarcas menginginkan Aku menikahi si gadis muda sebagai pelipur sepi hari tuanya.
 

“Usia bukan masalah berapa umurmu, tapi bagaimana kau merasakan ketuaan itu.”

Satu kalimat diatas adalah kalimat yang saya temukan saat saya memilih kabur dengan damai dari kebencian pada hari Senin dan membacanya membuat saya ingin menuliskan tentang hal ini hari ini. Saat mengalami hal-hal yang tidak diinginkan seperti hari Senin ini, saya mengingat bagaimana usia telah bertambah hampir seperempat abad membuat saya memberi pilihan pada diri saya untuk membenci keadaanya atau tidak. Dan saya memilih untuk tidak membenci lalu menerima saja kalau Senin terkadang bisa menjadi semenyebalkan ini.
Share:

0 comments: