Kebebasan itu, hal yang bagaimana
dan seperti apa? Baru saja menyelesaikan buku Pasung Jiwa karya Okky Mandasari membuat
saya menyadari kalau kebebasan adalah sesuatu yang mahal dan sesaat. Jika yang
namanya terkurung hanya soal berada didalam rumah dengan pagar yang tinggi,
atau yang namanya terkurung itu hanya soal penjahat yang meringkuk dibalik
jeruji penjara, maka pertanyaan tentang kebebasan yang saya tanyakan tadi akan
dengan mudah dijawab siapapun. Tapi kenyataannya, aturan-aturan, norma yang
tidak tertulis, larangan-larangan pada ayat kitab suci manapun, dan juga kegelisahaan
yang selalu dialami semua orang dimanapun, bukankah itu termasuk belenggu
kebebasan?
Buku ini memang sedikit terlihat
mendramatisir karena hanya menampilkan dua tokoh utama dengan beragam hal yang
memasung kebebasan mereka. Sasana, anak dari keluarga yang sempurna. Ayahnya
seorang pengacara dan ibunya seorang dokter bedah, dengan segenap kekuatannya
ia berusaha keluar dari semua aturan-aturan orang tua yang menginginkan ia
selalu menjadi anak berselimut hal baik. Usaha melawan pergolakan batinnya
sendiri saat mendapat perlakuan buruk teman-teman sekolah khusus prianya yang kusimpulkan
sendiri sebagai hal yang memicu ia berubah menjadi Sasa, atau saat menjadi
korban pelecehan tentara, dan ketika ia harus menjadi pasien rumah sakit jiwa
sampai menjadi tahanan dengan tuduhan penodaan agama karena goyangan yang ia
tampilkan di panggung. Sasana dibawa ke dimensi waktu yang berbeda-beda sampai
akhir bukunya. Dan sepanjang tiga ratus lebih halaman itu, Sasana tetap menjadi
orang yang harus berjuang mencari kebebasannya, kecuali saat ia sempat
mencicipi ketenaran menjadi biduan Sasa.
Begitu juga dengan tokoh lainnya,
Jaka Wani atau yang biasa dipanggil Cak Jek. Kehidupannya sama terbelenggunya
dengan Sasana. Usai menjadi tahanan tentara seperti Sasana, Cak Jek memasuki
pasung jiwanya yang lain ketika ia sampai di kota Batam dan menjadi buruh
pabrik. Ia meninggalkan pekerjaan mengamen yang paling ia senangi karena
tuntutan harus membantu biaya hidup Ibunya di kampung. Lagi-lagi, Cak Jek
kehilangan kebebasannya setelah ia membangkang pada Mandor dan Supervisor Pabrik lalu menjadi buron. Sampai
akhirnya ia terdampar di Jakarta dan ikut dalam sebuah organisasi Laskar
Keagamaan. Tak ubahnya Sasana, Cak Jek juga berada dalam berbagai lingkaran sosial
yang memasung jiwanya.
Menurut saya, buku ini mempunyai
akhir yang kurang melegakan dengan segala hal-hal pelik yang sudah dilalui
Sasana dan Cak Jek di sepanjang buku. Namun, tidak dipungkiri juga bahwa Okky
memasukkan konflik-konflik sekitar dengan sangat halus sampai saat menulis ini
saya baru menyadari kalau ternyata konflik yang ia tulis cukup banyak, dan
kesemuanya memang hal yang terjadi di sekitar kita atau bahkan kita sendiri
yang merasakan. Hanya saja, penulis memberikan konklusi yang kurang greget untuk semua permasalahan
terbelenggunya pemikiran, perasaan, ruang gerak yang diciptakan Okky sendiri yaitu
dengan membuat Sasana dan Cak Jek terkesan hidup bahagia hanya karena telah berhasil
kabur dari penjara.
0 comments:
Posting Komentar