Minggu, 09 Juli 2017

Pasung Jiwa, Okky Mandasari






Kebebasan itu, hal yang bagaimana dan seperti apa? Baru saja menyelesaikan buku Pasung Jiwa karya Okky Mandasari membuat saya menyadari kalau kebebasan adalah sesuatu yang mahal dan sesaat. Jika yang namanya terkurung hanya soal berada didalam rumah dengan pagar yang tinggi, atau yang namanya terkurung itu hanya soal penjahat yang meringkuk dibalik jeruji penjara, maka pertanyaan tentang kebebasan yang saya tanyakan tadi akan dengan mudah dijawab siapapun. Tapi kenyataannya, aturan-aturan, norma yang tidak tertulis, larangan-larangan pada ayat kitab suci manapun, dan juga kegelisahaan yang selalu dialami semua orang dimanapun, bukankah itu termasuk belenggu kebebasan? 


Buku ini memang sedikit terlihat mendramatisir karena hanya menampilkan dua tokoh utama dengan beragam hal yang memasung kebebasan mereka. Sasana, anak dari keluarga yang sempurna. Ayahnya seorang pengacara dan ibunya seorang dokter bedah, dengan segenap kekuatannya ia berusaha keluar dari semua aturan-aturan orang tua yang menginginkan ia selalu menjadi anak berselimut hal baik. Usaha melawan pergolakan batinnya sendiri saat mendapat perlakuan buruk teman-teman sekolah khusus prianya yang kusimpulkan sendiri sebagai hal yang memicu ia berubah menjadi Sasa, atau saat menjadi korban pelecehan tentara, dan ketika ia harus menjadi pasien rumah sakit jiwa sampai menjadi tahanan dengan tuduhan penodaan agama karena goyangan yang ia tampilkan di panggung. Sasana dibawa ke dimensi waktu yang berbeda-beda sampai akhir bukunya. Dan sepanjang tiga ratus lebih halaman itu, Sasana tetap menjadi orang yang harus berjuang mencari kebebasannya, kecuali saat ia sempat mencicipi ketenaran menjadi biduan Sasa.

Begitu juga dengan tokoh lainnya, Jaka Wani atau yang biasa dipanggil Cak Jek. Kehidupannya sama terbelenggunya dengan Sasana. Usai menjadi tahanan tentara seperti Sasana, Cak Jek memasuki pasung jiwanya yang lain ketika ia sampai di kota Batam dan menjadi buruh pabrik. Ia meninggalkan pekerjaan mengamen yang paling ia senangi karena tuntutan harus membantu biaya hidup Ibunya di kampung. Lagi-lagi, Cak Jek kehilangan kebebasannya setelah ia membangkang pada Mandor dan Supervisor Pabrik lalu menjadi buron. Sampai akhirnya ia terdampar di Jakarta dan ikut dalam sebuah organisasi Laskar Keagamaan. Tak ubahnya Sasana, Cak Jek juga berada dalam berbagai lingkaran sosial yang memasung jiwanya.

Menurut saya, buku ini mempunyai akhir yang kurang melegakan dengan segala hal-hal pelik yang sudah dilalui Sasana dan Cak Jek di sepanjang buku. Namun, tidak dipungkiri juga bahwa Okky memasukkan konflik-konflik sekitar dengan sangat halus sampai saat menulis ini saya baru menyadari kalau ternyata konflik yang ia tulis cukup banyak, dan kesemuanya memang hal yang terjadi di sekitar kita atau bahkan kita sendiri yang merasakan. Hanya saja, penulis memberikan konklusi yang kurang greget untuk semua permasalahan terbelenggunya pemikiran, perasaan, ruang gerak yang diciptakan Okky sendiri yaitu dengan membuat Sasana dan Cak Jek terkesan hidup bahagia hanya karena telah berhasil kabur dari penjara.
Share:

0 comments: