Rabu, 26 Juli 2017

Binatang Seperti Manusia, Atau Manusia Seperti Binatang?



Kebiasaan membeli buku selalu dimulai dengan membaca halaman sinopsis yang ada di sampul belakang. Tidak ada bedanya, ketika saya memutuskan memboyong buku Animal Farm karya George Orwell ini. Dari sinopsis, saya sudah membayangkan cerita fabel dengan kisah binatang dalam sebuah peternakan yang ingin memerdekakan diri dari manusia si pemilik peternakan.

Bermula dari seekor babi tua bernama Major menceritakan mimpi yang ia alami tentang lagu masa kecilnya berjudul ‘Binatang Inggris’. Isi lagunya tentang tumbangnya tirani Manusia di tangan binatang. Ia juga bercerita tentang bagaimana binatang ternak yang selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.


“Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengonsumsi tanpa menghasilkan. Ia tidak memberi susu, ia tidak bertelur, ia terlalu lemah menarik bajak, ia tidak bisa lari cepat untuk menangkap terwelu. Namun ia adalah penguasa semua binatang. Manusia menyuruh binatang bekerja, manusia mengembalikan seminimal mungkin hanya untuk menjaga supaya binatang tidak kelaparan, sisanya untuk manusia sendiri”. -Major


Cerita Major malam itu membangkitkan sisi berontak binatang-binatang yang lain dan akhirnya mereka berhasil merebut peternakan dan menyingkirkan Pak Jones, si pemilik peternakan. Berturut-turut diceritakan -kalau dianggap sebuah negara misalnya di Indonesia- mereka membuat rumusan seperti pancasila yang dalam dunia mereka disebut 7 Perintah. Lalu lagu “Binatang Inggris” yang dikenalkan oleh Major tua menjadi lagu kebangsaan mereka. Dan juga bendera berwarna hijau dengan gambar kuku binatang dan tanduk bercat putih. Kumpulan babi yang dianggap paling cerdas dari seluruh binatang peternakan itu secara tidak langsung menjadikan mereka sebagai pemimpin kekuasaan. –Kalau di Indonesia, ini terlihat seperti seorang Presiden dan Menteri-menterinya-

Sepanjang saya membaca buku ini, sudah pasti saya membanding-bandingkan sifat binatang-binatang ini dengan manusia. Atau membayangkan jika mereka benar-benar menjadi seperti manusia. Berdagang, belajar membaca atau pergi ke sekolah. Sampai saya tersentak dengan ending yang benar-benar membuat saya harus menertawai diri sendiri karena salah menangkap maksud Orwell dalam buku ini.

Pada bab akhir, diceritakan babi bernama Napoleon yang telah memimpin peternakan, melanggar 7 Perintah yang tertulis. Sejak awal memimpin, ia memang telah melanggar satu-persatu aturan 7 Perintah itu. Namun yang terakhir, ia melanggar tentang perintah utama yang juga menjadi semboyan Republik Peternakan, yaitu ‘Apapun yang berjalan dengan dua kaki adalah musuh’, dan Napoleon bersama babi-babi lainnya mulai berjalan di atas dua kaki belakangnya, juga mengakhiri perseteruan antara binatang dan manusia dengan para babi itu duduk bersama peternak saling menikmati permainan kartu dan bersulang.

Suasana akrab para babi dengan peternak itu tidak belangsung lama, karena akhirnya mereka kembali berkelahi karena Napoleon dan Pak Pilkington, salah satu pemilik peternakan, masing-masing sama-sama memiliki kartu As Sekop. Binatang lain selain babi yang menonton perkelahian mereka, sudah tak lagi bisa membedakan mana yang babi dan mana yang manusia karena mereka sama-sama telah berdiri di atas dua kaki.

Hal yang membuat saya menertawai diri sendiri adalah perihal tadinya saya berpikir buku ini menceritakan tentang binatang yang bertingkah seperti manusia, pada halaman terakhir saya baru menyadari kalau pikiran saya ternyata salah. Membaca akhir cerita bagaimana binatang peternakan selain babi itu tak sanggup membedakan mana manusia dan mana babi, pertanyaan itu muncul begitu saja di kepala. “Apakah binatang yang bertingkah seperti manusia, atau manusia yang bertingkah seperti binatang?”. Dan tentu jawabannya bukan binatang yang bertingkah seperti manusia, kan?
Share:

0 comments: