Saya membiasakan membeli buku bacaan sejak sekolah menengah atas. Dulu, saya mengumpulkan uang saku bulanan untuk membeli entah novel atau kumpulan cerpen. Sebelumnya saat masih berseragam biru putih, saya masih senang-senangnya menghabiskan buku-buku cerita di perpustakaan sekolah. Mulai buku percintaan religi Ayat-Ayat Cinta, cerita cinta anak basket di buku Dealova, buku-buku karya Meg Cabot bahkan sampai puisi Kahlil Gibran. Tapi sejak memakai seragam abu-abu putih, entah apa yang memulai, saya semakin menjadi orang yang idealis dalam hal membaca meski itu hanya novel atau kumpulan cerpen untuk sekedar hiburan di waktu senggang. Keidealisan ini membuat saya merasa harus membeli buku untuk mendapat bacaan yang saya inginkan.
Di suatu April yang bertabur tanggal dengan banyak tinta tercetak merah, saya tiba-tiba berpikir untuk membaca ulang buku-buku yang sudah saya beli dan pernah habis saya baca. Diantara buku yang bejajar-jajar di rak, saya memilih 3 buku yang akan saya baca ulang. Buku-buku itu adalah Surga Sungsang karya Triyanto Triwikromo, lalu O tulisan Eka Kurniawan dan Tuhan Tidak Makan Ikan milik Gunawan Tri Atmodjo. Yang saya tulis sekarang adalah perihal bagaimana rasanya membaca ulang Surga Sungsang, semoga di lain hari saya bisa membagi rasa tentang kedua buku lainnya.
Surga sungsang berisi kumpulan cerita yang pernah dimuat dengan sebagian perubahan judul di surat kabar seperti Kompas, Jawa Pos, Tempo dan Jurnal Perempuan. Diawali dengan kisah Kufah, anak kencur dari sebuah tempat bernama ujung tanjung dengan segala cerita tentang makam keramat dan pergolakan banyak tokoh didalamnya.
Membaca buku ini, saya merasakan kalimat-kalimat yang bersajak padahal ini bukan buku puisi, lalu hal-hal religius yang disampaikan dengan halus tanpa si Pengarang harus menuliskan dalil-dalil atau ayat dalam kitab suci. Ada juga keriuhan nama tokoh yang terus berganti di setiap bab yang saya lewati, namun tokoh-tokoh itu tetap terhubung satu sama lain dengan ujung tanjung dan makam keramat Syekh Muso. Penggambaran keadaan, sifat-sifat maupun konflik yang disajikan, membuat saya merasa tidak sedang membaca cerita fiksi seperti genre buku yang dituliskan diujung kanan sampul belakang. Cerita-cerita didalamnya, menurut saya begitu meng-Indonesia. Seperti yang diceritakan dalam bab Amenangi Jaman Celeng. Menceritakan tentang Rajab, pemuda pemberang yang ingin mengeyahkan tetua kampung hanya karena si tetua tidak menuruti kehendaknya untuk membasmi wabah celeng yang melanda ujung tanjung. Sekilas, perihal menghasut dan memaksakan kehendak, saya teringat dengan suasana pilkada yang disiarkan televisi nasional beberapa waktu lalu, hahaha.
Setelah membaca ulang buku yang 2 tahun lalu saya boyong dari toko buku, saya tetap bisa merasakan kejutan-kejutan dari setiap bab yang disajikan. Dan juga, ilustrasi sederhana untuk 16 cerita ajaib didalamnya juga masih menarik perhatian saya. Percaya atau tidak, membaca Surga Sungsang di tahun yang berbeda, baru saja berhasil menyisakan satu pertanyaan di kepala saya, Indonesiakah surga sungsang itu?
0 comments:
Posting Komentar