Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke
dalam perangkap. Namun di sore ketika seharusnya rehat menanti musim
perburuan, ia terperosok dalam tragedi pembunuhan paling brutal. Di
balik motif-motif yang berhamburan, antara cinta dan pengkhianatan, rasa
takut dan berahi, bunga dan darah, ia menyangkal dengan tandas. “Bukan
aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di
dalam tubuhku.”
Hari Minggu sore (9/04) saya baru saja menyelesaikan lima bab tulisan gila hasil imajinasi dari seorang Eka Kurniawan. Butuh waktu lebih dari sebulan untuk menyelesaikan buku yang bahkan tebalnya tidak sampai 200 halaman itu. Diselingi dengan beberapa pekerjaan di kantor, beberapa perjalanan bepergian keluar kota dan sedikit banyak kemalasan membaca yang tiba-tiba datang membuat saya lebih senang berbaring di tempat tidur daripada melanjutkan membaca novel yang saya beli sejak bulan Februari lalu.
Hari Minggu sore (9/04) saya baru saja menyelesaikan lima bab tulisan gila hasil imajinasi dari seorang Eka Kurniawan. Butuh waktu lebih dari sebulan untuk menyelesaikan buku yang bahkan tebalnya tidak sampai 200 halaman itu. Diselingi dengan beberapa pekerjaan di kantor, beberapa perjalanan bepergian keluar kota dan sedikit banyak kemalasan membaca yang tiba-tiba datang membuat saya lebih senang berbaring di tempat tidur daripada melanjutkan membaca novel yang saya beli sejak bulan Februari lalu.
Pada bab pertama, saya sudah dicengangkan oleh perihal kebengisan seorang Mergio membunuh Anwar Sadat. Kematian Anwar Sadat yang mengenaskan ditangan Mergio membuat saya penasaran mengapa remaja pemburu babi itu tiba-tiba membunuh Anwar Sadat, bukannya Komar bin Syueb, ayah yang selalu ia benci sampai akhir. Dan benar saja, Eka sama sekali tidak menyinggung sedikitpun alasan Mergio membunuh Anwar Sadat kecuali saya harus pasrah mengikuti seluruh perjalanan kisah hidup Mergio dan keluarganya sampai halaman terakhir.
Tidak ada bosan yang hinggap sedikitpun ketika saya melewatkan lembar demi lembar halaman, bab demi bab untuk membaca cerita tentang Mergio dan keluarganya. Semuanya kisah didalamnya terasa mengalir dengan ringan untuk dibaca mulai kisah pertemuan Komar bin Syueb dan ibunya, Nuraeni. Kisah lahirnya Mergio dan Mameh. Cerita rusuh dirumah kecil mereka, kelahiran Marian sampai satu-persatu tokoh -meski tak semua- mulai menghilang ditelan maut dengan beragam cara. Konflik-konflik berdatangan dengan rapi dan diselesaikan dengan baik juga di akhir cerita.
Keunikan yang lain adalah, tentang bagaimana seorang Eka Kurniawan memilih nama-nama tokoh yang sama sekali tidak pernah saya pikirkan apa artinya. Nama-nama itu berlalu-lalang sepanjang saya membaca buku ini tanpa perasaan aneh meski saya hampir tidak pernah mendengar nama-nama yang ditulis Eka di kehidupan nyata. Namun, disudut hati kecil saya ada kepercayaan kalau nama-nama seperti itu memang benar ada entah di belahan Indonesia bagian mana.
Novel ini memang begitu sayang untuk dilewatkan untuk kalian yang menyenangi karya fiksi sastrawan Indonesia seperti saya. Saya tidak bercerita tentang bagaimana teknik menulis seorang Eka karena saya sama sekali berada pada ujung kuku kelingking pada jari-jari kaki untuk membicarakan perihal teknik menulis seorang Eka Kurniawan. Saya hanya bisa mengangumi imajinasi magis, pesan-pesan, dan psikologi tokoh yang disampaikan Eka dengan cara yang kelam namun tetap menyenangkan untuk diikuti dalam buku ini.
0 comments:
Posting Komentar