Sabtu, 27 Mei 2017

Akar Untuk Hal Buruk

http://kbbi.web.id/dendam

Dendam adalah kata pertama yang saya dapatkan sewaktu membaca novel Misteri Perawan Kubur karangan Abdullah Harahap pertama kali. Menurut saya, semua inti cerita dari novel yang dicetak ulang (terbitan pertama tahun 1990) dengan cover hitam menyeramkan ini berisi tentang dendam-dendam yang harus dibayarkan. Cerita tentang horror dan seks yang mencuat dari buku ini memang merasa kurang mengalir dengan baik. Beberapa kalimat terasa berbelit atau terulang-ulang, namun saya pikir ini wajar karena buku ini adalah buku lama dan tentu saja bahasa yang dipakai berbeda dengan era saya sekarang.
Pada akhirnya, saya mampu menyelesaikan buku ini tidak lebih dari tiga hari karena sebenarnya cerita yang disajikan didalamnya adalah benar-benar misteri. Misteri yang membuat saya rela mengurangi jeda membaca karena ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi antara si 'Nona' dengan Ramandita. Kematian demi kematian mengerikan, dan tentu saja saya menyukai ide tentang misteri cara kematian yang dilakukan oleh si tokoh 'Nona'.
Ini pertama kalinya saya membaca buku bertema horror Indonesia. Dan menurut saya, membaca buku ini terasa seperti membaca Ghost Bumps versi Indonesia. Hal mengagumkan lainnya dari novel ini adalah ending yang tidak terbaca. Tadinya, kisah tentang tokoh rekaan yang keluar ke dunia nyata memang terasa benar-benar mengkhayal, namun Abdullah Harahap berhasil membuat ending yang masuk akal menurut saya setelah beliau menjadikan Ramandita kehilangan alam pikir usai menemui si 'Nona' di 'dunianya'.
Masih ada satu buku Abdullah Harahap yang belum selesai saya baca. Judulnya 'Misteri Lemari Antik'. Membacanya masih sampai pada bab-bab awal, namun saya sudah bisa menangkap inti cerita masih berada pada lingkaran dendam. Memang, dendam adalah akar yang paling baik untuk menumbuhkan hal-hal yang buruk. Dan menyeramkan.
Share:

Kamis, 11 Mei 2017

Tuhan Tidak Makan Ikan (Dua Kali)

Pernah mendengar pepatah soal manusia berencana, Tuhan yang menentukan? Selintas saya memikirkan pepatah ini sewaktu membaca ulang Tuhan Tidak Makan Ikan karya Gunawan Tri Atmojo. Namun seminggu setelah membaca lalu menuliskannya disini, saya pikir pepatah itu terlalu berat untuk saya pakai sebagai pembuka tulisan receh ini. Toh, ini hanya tulisan senggang pelipur hari-hari monoton saya. Menulis disini, bisa menjadi variasi saya ketika menatap laptop agar tidak hanya untuk mengerjakan tugas-tugas kantor, menonton drama korea, menonton akun youtube Arief Muhammad atau membaca-baca tulisan online A.S Laksana.

Waktu menulis tentang Membaca Ulang Surga Sungsang, saya menyinggung sedikit akan membahas bacaan ulang saya yang lain, salah satunya Tuhan Tidak Makan Ikan ini. Meski singgungannya hanya sedikit, namun saya merasa sudah berhutang pada diri saya sendiri kalau saya harus menuliskannya, dan tentu saja hutang harus saya bayar dengan lunas bagaimanapun keadaannya meski hanya untuk diri sendiri. Karena awal mula segala hal berada dalam diri kita sendiri.

 

Dulu, ketika awal membaca buku ini di akhir tahun 2016, ada bahagia yang terselip karena membaca kalimat-kalimat umpatan baru yang 'nyaman' untuk saya tiru. Memang, buku ini berisi kumpulan-kumpulan cerpen ringan dan berhasil juga membuat saya tertawa. Padahal dibagian belakang buku, sudah ada kalimat yang mengingatkan, "Cerpen-cerpen Gunawan menyentil dengan jenaka fenomena yang terjadi di sekitar kita. Ketika tertawa setelah membaca tulisannya, mungkin kita sedang menertawakan diri sendiri..." Saya tertawa dan secara tidak sadar kalau saya mempunyai kemungkinan sedang menertawakan diri saya sendiri.


Seperti dalam cerpen berjudul "Bukan Kawan" yang menceritakan tentang seorang job seeker yang akan menghadapi test wawancara dengan manajer personalia di perusahaan rokok nasional. Saat menunggu antrian untuk dipanggil ke dalam ruanga wawancara, ia mengira sang manajer adalah Didik Rabiulakhir, teman dekat masa SMA-nya yang lama tak berkabar.


"Aku Ilham Aji, Dik. Kawan SMA-mu dari Solo."
"Maaf, saya tidak kenal Anda. Anda bisa lihat dan baca nama saya."
Dan nama yang tertulis adalah Santosa Sejahtera. Bayangan-bayangan kekhawatiran Ilham Aji tentang teman SMA yang lebih sukses darinya, lalu diakhiri dengan kekeliruan bahwa ternyata yang akan mewawancarainya bukanlah teman lamanya, membuat saya tersenyum juga. Saya tidak menampik kalau saya juga pernah memiliki kedengkian kecil seperti itu, seperti yang diucapkan Ilham "Setidaknya Didik belum tentu lebih sukses dariku."

Tapi perasaan-perasaan bahagia saat membaca Tuhan Tidak Makan Ikan di 2016 tidak lagi saya temukan waktu membacanya ulang minggu lalu. Bahkan saya sudah menutup buku setelah membaca tiga cerpen saja karena merasa buku ini tidak selucu saat pertama membaca. Jadi, saya menghentikan ditengah jalan rencana membaca habis buku ini sekali lagi, karena barangkali Tuhan sudah menentukan saya untuk membaca buku yang lain saja. Ketika sudah tidak lagi tertawa saat membaca buku ini, apa bisa dibilang kalau saya sudah tidak menertawakan diri sendiri?
Share: