Saya membiasakan membeli buku bacaan sejak sekolah menengah atas. Dulu, saya mengumpulkan uang saku bulanan untuk membeli entah novel atau kumpulan cerpen. Sebelumnya saat masih berseragam biru putih, saya masih senang-senangnya menghabiskan buku-buku cerita di perpustakaan sekolah. Mulai buku percintaan religi Ayat-Ayat Cinta, cerita cinta anak basket di buku Dealova, buku-buku karya Meg Cabot bahkan sampai puisi Kahlil Gibran. Tapi sejak memakai seragam abu-abu putih, entah apa yang memulai, saya semakin menjadi orang yang idealis dalam hal membaca meski itu hanya novel atau kumpulan cerpen untuk sekedar hiburan di waktu senggang. Keidealisan ini membuat saya merasa harus membeli buku untuk mendapat bacaan yang saya inginkan.
Kamis, 27 April 2017
Senin, 10 April 2017
Tua Menurut Gabo
Hari Senin dikenal sebagai hari menyebalkan untuk beberapa pekerja. Sebenarnya, saya tidak ingin termasuk dalam golongan pembenci hari Senin, namun beberapa kali saya tidak bisa mengelak tentang Senin yang menyebalkan ketika saya bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan pula di hari pertama setelah libur berharga bagi para pekerja itu. Ketika di suatu Senin saya bertemu dengan mereka yang menyebalkan itu, saya hanya bisa meringis enggan marah dan memilih kabur ke Amerika Latin.
Jangan tertawa saat saya bilang saya memilih kabur ke negeri pembuat film telenovela itu dengan sangat mudah. Ya, pergi kesana semudah saya membuka lembaran novel pendek milik Gabriel Garcia Marquez. Dibalik cover buku berjudul Para Pelacurku yang Sendu itu saya menenggelamkan diri untuk menenangkan amarah agar tidak menumbuh-numbuhkan kebencian yang tidak perlu pada hari Senin. Di buku yang sempat saya tinggalkan tanpa menyentuh halaman akhirnya sejak saya membelinya bulan November tahun lalu, saya menemukan satu kalimat tentang 'tua' menurut tokoh Aku yang diceritakan oleh penulis peraih nobel sastra ini.
Beberapa orang, menganggap tua adalah perihal bertambahnya usia. Semakin banyak angka-angka untuk usia, maka setua itulah dirimu. Padahal, menjadi tua bukan hanya soal usia yang terus bertambah satu-persatu dari tahun ke tahun. Menjadi tua adalah tentang bagaimana pola pikir yang bertambah lalu berubah seiring dengan bertambahnya pula ragam pengalaman hidup. Tokoh Aku dalam buku ini mengalami pergolakan batin saat ia menyadari di usia 90 tahun kesendiriannya itu, ia telah jatuh cinta pada gadis 15 tahun yang dikenalkan padanya oleh Rosa Cabarcas -teman tokoh Aku, pemilik rumah bordir-. Ia menyadari seberapa tua usianya hingga alam sadarnya meminta ia untuk berhenti mengikuti kesenangan sesaatnya saat Rosa Cabarcas menginginkan Aku menikahi si gadis muda sebagai pelipur sepi hari tuanya.
“Usia bukan masalah berapa umurmu, tapi bagaimana kau merasakan ketuaan itu.”
Satu kalimat diatas adalah kalimat yang saya temukan saat saya memilih kabur dengan damai dari kebencian pada hari Senin dan membacanya membuat saya ingin menuliskan tentang hal ini hari ini. Saat mengalami hal-hal yang tidak diinginkan seperti hari Senin ini, saya mengingat bagaimana usia telah bertambah hampir seperempat abad membuat saya memberi pilihan pada diri saya untuk membenci keadaanya atau tidak. Dan saya memilih untuk tidak membenci lalu menerima saja kalau Senin terkadang bisa menjadi semenyebalkan ini.
Minggu, 09 April 2017
Lelaki Harimau, Eka Kurniawan
Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke
dalam perangkap. Namun di sore ketika seharusnya rehat menanti musim
perburuan, ia terperosok dalam tragedi pembunuhan paling brutal. Di
balik motif-motif yang berhamburan, antara cinta dan pengkhianatan, rasa
takut dan berahi, bunga dan darah, ia menyangkal dengan tandas. “Bukan
aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di
dalam tubuhku.”