Minggu, 29 September 2024

The Architecture of Love, Ika Natassa

 Ini buku kedua Ika Natassa yang kubaca. Sebelumnya takjub dengan cerita Ika Natassa di buku Critical Eleven, dan sekarang pilihan jatuh kepada The Architecture of Love yang biasa orang-orang singkat menjadi TAOL. Cerita dari kedua buku ini sama-sama pernah diangkat ke layar lebar diperankan oleh aktor aktris papan atas Indonesia.

TAOL bercerita tentang dua orang yang pernah dilukai masa lalu dan sedang mencari jalan untuk bangkit kembali menemukan dirinya yang sempat hilang. Berlatar belakang New York, yang dituliskan sebagai tempat pelarian dari masa lalu baik bagi Raia maupun River. Romansa-romanda yang tumbuh diikuti dengan kisah berbagai gedung-gedung di New York membuat cerita ini menarik diikuti. Pengetahuan tetang Negara lain memang selalu menyenangkan untuk dibaca. Apalagi bagi yang belum pernah menginjakkan kaki di New York, melalui buku ini kita dibawa seolah-olah berkeliling kota New York, merasakan musim yang sedang berjalan, itu semua digambarkan oleh pemilihan kata yang baik sampai pembaca bisa turut merasakan emosi tokoh-tokoh di dalamnya.

Buku yang dicetak 308 halaman ini mampu kubaca sampai selesai dalam waktu 3 hari karena kisah-kisahnya yang ringan dan menyenangkan. Membaca buku ini membawa pengalaman baru mengenal gedung-gedung di New York. Sedikit menyesal karena belum sempat menonton film layar lebarnya dengan judul yang sama, pasti diceritakan dengan visual-visual tentang New York yang lebih gamblang.



Share:

Rabu, 26 Juli 2017

Binatang Seperti Manusia, Atau Manusia Seperti Binatang?



Kebiasaan membeli buku selalu dimulai dengan membaca halaman sinopsis yang ada di sampul belakang. Tidak ada bedanya, ketika saya memutuskan memboyong buku Animal Farm karya George Orwell ini. Dari sinopsis, saya sudah membayangkan cerita fabel dengan kisah binatang dalam sebuah peternakan yang ingin memerdekakan diri dari manusia si pemilik peternakan.

Bermula dari seekor babi tua bernama Major menceritakan mimpi yang ia alami tentang lagu masa kecilnya berjudul ‘Binatang Inggris’. Isi lagunya tentang tumbangnya tirani Manusia di tangan binatang. Ia juga bercerita tentang bagaimana binatang ternak yang selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.


“Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengonsumsi tanpa menghasilkan. Ia tidak memberi susu, ia tidak bertelur, ia terlalu lemah menarik bajak, ia tidak bisa lari cepat untuk menangkap terwelu. Namun ia adalah penguasa semua binatang. Manusia menyuruh binatang bekerja, manusia mengembalikan seminimal mungkin hanya untuk menjaga supaya binatang tidak kelaparan, sisanya untuk manusia sendiri”. -Major


Cerita Major malam itu membangkitkan sisi berontak binatang-binatang yang lain dan akhirnya mereka berhasil merebut peternakan dan menyingkirkan Pak Jones, si pemilik peternakan. Berturut-turut diceritakan -kalau dianggap sebuah negara misalnya di Indonesia- mereka membuat rumusan seperti pancasila yang dalam dunia mereka disebut 7 Perintah. Lalu lagu “Binatang Inggris” yang dikenalkan oleh Major tua menjadi lagu kebangsaan mereka. Dan juga bendera berwarna hijau dengan gambar kuku binatang dan tanduk bercat putih. Kumpulan babi yang dianggap paling cerdas dari seluruh binatang peternakan itu secara tidak langsung menjadikan mereka sebagai pemimpin kekuasaan. –Kalau di Indonesia, ini terlihat seperti seorang Presiden dan Menteri-menterinya-

Sepanjang saya membaca buku ini, sudah pasti saya membanding-bandingkan sifat binatang-binatang ini dengan manusia. Atau membayangkan jika mereka benar-benar menjadi seperti manusia. Berdagang, belajar membaca atau pergi ke sekolah. Sampai saya tersentak dengan ending yang benar-benar membuat saya harus menertawai diri sendiri karena salah menangkap maksud Orwell dalam buku ini.

Pada bab akhir, diceritakan babi bernama Napoleon yang telah memimpin peternakan, melanggar 7 Perintah yang tertulis. Sejak awal memimpin, ia memang telah melanggar satu-persatu aturan 7 Perintah itu. Namun yang terakhir, ia melanggar tentang perintah utama yang juga menjadi semboyan Republik Peternakan, yaitu ‘Apapun yang berjalan dengan dua kaki adalah musuh’, dan Napoleon bersama babi-babi lainnya mulai berjalan di atas dua kaki belakangnya, juga mengakhiri perseteruan antara binatang dan manusia dengan para babi itu duduk bersama peternak saling menikmati permainan kartu dan bersulang.

Suasana akrab para babi dengan peternak itu tidak belangsung lama, karena akhirnya mereka kembali berkelahi karena Napoleon dan Pak Pilkington, salah satu pemilik peternakan, masing-masing sama-sama memiliki kartu As Sekop. Binatang lain selain babi yang menonton perkelahian mereka, sudah tak lagi bisa membedakan mana yang babi dan mana yang manusia karena mereka sama-sama telah berdiri di atas dua kaki.

Hal yang membuat saya menertawai diri sendiri adalah perihal tadinya saya berpikir buku ini menceritakan tentang binatang yang bertingkah seperti manusia, pada halaman terakhir saya baru menyadari kalau pikiran saya ternyata salah. Membaca akhir cerita bagaimana binatang peternakan selain babi itu tak sanggup membedakan mana manusia dan mana babi, pertanyaan itu muncul begitu saja di kepala. “Apakah binatang yang bertingkah seperti manusia, atau manusia yang bertingkah seperti binatang?”. Dan tentu jawabannya bukan binatang yang bertingkah seperti manusia, kan?
Share:

Minggu, 09 Juli 2017

Pasung Jiwa, Okky Mandasari






Kebebasan itu, hal yang bagaimana dan seperti apa? Baru saja menyelesaikan buku Pasung Jiwa karya Okky Mandasari membuat saya menyadari kalau kebebasan adalah sesuatu yang mahal dan sesaat. Jika yang namanya terkurung hanya soal berada didalam rumah dengan pagar yang tinggi, atau yang namanya terkurung itu hanya soal penjahat yang meringkuk dibalik jeruji penjara, maka pertanyaan tentang kebebasan yang saya tanyakan tadi akan dengan mudah dijawab siapapun. Tapi kenyataannya, aturan-aturan, norma yang tidak tertulis, larangan-larangan pada ayat kitab suci manapun, dan juga kegelisahaan yang selalu dialami semua orang dimanapun, bukankah itu termasuk belenggu kebebasan? 
Share:

Sabtu, 27 Mei 2017

Akar Untuk Hal Buruk

http://kbbi.web.id/dendam

Dendam adalah kata pertama yang saya dapatkan sewaktu membaca novel Misteri Perawan Kubur karangan Abdullah Harahap pertama kali. Menurut saya, semua inti cerita dari novel yang dicetak ulang (terbitan pertama tahun 1990) dengan cover hitam menyeramkan ini berisi tentang dendam-dendam yang harus dibayarkan. Cerita tentang horror dan seks yang mencuat dari buku ini memang merasa kurang mengalir dengan baik. Beberapa kalimat terasa berbelit atau terulang-ulang, namun saya pikir ini wajar karena buku ini adalah buku lama dan tentu saja bahasa yang dipakai berbeda dengan era saya sekarang.
Pada akhirnya, saya mampu menyelesaikan buku ini tidak lebih dari tiga hari karena sebenarnya cerita yang disajikan didalamnya adalah benar-benar misteri. Misteri yang membuat saya rela mengurangi jeda membaca karena ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi antara si 'Nona' dengan Ramandita. Kematian demi kematian mengerikan, dan tentu saja saya menyukai ide tentang misteri cara kematian yang dilakukan oleh si tokoh 'Nona'.
Ini pertama kalinya saya membaca buku bertema horror Indonesia. Dan menurut saya, membaca buku ini terasa seperti membaca Ghost Bumps versi Indonesia. Hal mengagumkan lainnya dari novel ini adalah ending yang tidak terbaca. Tadinya, kisah tentang tokoh rekaan yang keluar ke dunia nyata memang terasa benar-benar mengkhayal, namun Abdullah Harahap berhasil membuat ending yang masuk akal menurut saya setelah beliau menjadikan Ramandita kehilangan alam pikir usai menemui si 'Nona' di 'dunianya'.
Masih ada satu buku Abdullah Harahap yang belum selesai saya baca. Judulnya 'Misteri Lemari Antik'. Membacanya masih sampai pada bab-bab awal, namun saya sudah bisa menangkap inti cerita masih berada pada lingkaran dendam. Memang, dendam adalah akar yang paling baik untuk menumbuhkan hal-hal yang buruk. Dan menyeramkan.
Share:

Kamis, 11 Mei 2017

Tuhan Tidak Makan Ikan (Dua Kali)

Pernah mendengar pepatah soal manusia berencana, Tuhan yang menentukan? Selintas saya memikirkan pepatah ini sewaktu membaca ulang Tuhan Tidak Makan Ikan karya Gunawan Tri Atmojo. Namun seminggu setelah membaca lalu menuliskannya disini, saya pikir pepatah itu terlalu berat untuk saya pakai sebagai pembuka tulisan receh ini. Toh, ini hanya tulisan senggang pelipur hari-hari monoton saya. Menulis disini, bisa menjadi variasi saya ketika menatap laptop agar tidak hanya untuk mengerjakan tugas-tugas kantor, menonton drama korea, menonton akun youtube Arief Muhammad atau membaca-baca tulisan online A.S Laksana.

Waktu menulis tentang Membaca Ulang Surga Sungsang, saya menyinggung sedikit akan membahas bacaan ulang saya yang lain, salah satunya Tuhan Tidak Makan Ikan ini. Meski singgungannya hanya sedikit, namun saya merasa sudah berhutang pada diri saya sendiri kalau saya harus menuliskannya, dan tentu saja hutang harus saya bayar dengan lunas bagaimanapun keadaannya meski hanya untuk diri sendiri. Karena awal mula segala hal berada dalam diri kita sendiri.

 

Dulu, ketika awal membaca buku ini di akhir tahun 2016, ada bahagia yang terselip karena membaca kalimat-kalimat umpatan baru yang 'nyaman' untuk saya tiru. Memang, buku ini berisi kumpulan-kumpulan cerpen ringan dan berhasil juga membuat saya tertawa. Padahal dibagian belakang buku, sudah ada kalimat yang mengingatkan, "Cerpen-cerpen Gunawan menyentil dengan jenaka fenomena yang terjadi di sekitar kita. Ketika tertawa setelah membaca tulisannya, mungkin kita sedang menertawakan diri sendiri..." Saya tertawa dan secara tidak sadar kalau saya mempunyai kemungkinan sedang menertawakan diri saya sendiri.


Seperti dalam cerpen berjudul "Bukan Kawan" yang menceritakan tentang seorang job seeker yang akan menghadapi test wawancara dengan manajer personalia di perusahaan rokok nasional. Saat menunggu antrian untuk dipanggil ke dalam ruanga wawancara, ia mengira sang manajer adalah Didik Rabiulakhir, teman dekat masa SMA-nya yang lama tak berkabar.


"Aku Ilham Aji, Dik. Kawan SMA-mu dari Solo."
"Maaf, saya tidak kenal Anda. Anda bisa lihat dan baca nama saya."
Dan nama yang tertulis adalah Santosa Sejahtera. Bayangan-bayangan kekhawatiran Ilham Aji tentang teman SMA yang lebih sukses darinya, lalu diakhiri dengan kekeliruan bahwa ternyata yang akan mewawancarainya bukanlah teman lamanya, membuat saya tersenyum juga. Saya tidak menampik kalau saya juga pernah memiliki kedengkian kecil seperti itu, seperti yang diucapkan Ilham "Setidaknya Didik belum tentu lebih sukses dariku."

Tapi perasaan-perasaan bahagia saat membaca Tuhan Tidak Makan Ikan di 2016 tidak lagi saya temukan waktu membacanya ulang minggu lalu. Bahkan saya sudah menutup buku setelah membaca tiga cerpen saja karena merasa buku ini tidak selucu saat pertama membaca. Jadi, saya menghentikan ditengah jalan rencana membaca habis buku ini sekali lagi, karena barangkali Tuhan sudah menentukan saya untuk membaca buku yang lain saja. Ketika sudah tidak lagi tertawa saat membaca buku ini, apa bisa dibilang kalau saya sudah tidak menertawakan diri sendiri?
Share:

Kamis, 27 April 2017

Membaca Ulang Surga Sungsang

Saya membiasakan membeli buku bacaan sejak sekolah menengah atas. Dulu, saya mengumpulkan uang saku bulanan untuk membeli entah novel atau kumpulan cerpen. Sebelumnya saat masih berseragam biru putih, saya masih senang-senangnya menghabiskan buku-buku cerita di perpustakaan sekolah. Mulai buku percintaan religi Ayat-Ayat Cinta, cerita cinta anak basket di buku Dealova, buku-buku karya Meg Cabot bahkan sampai puisi Kahlil Gibran. Tapi sejak memakai seragam abu-abu putih, entah apa yang memulai, saya semakin menjadi orang yang idealis dalam hal membaca meski itu hanya novel atau kumpulan cerpen untuk sekedar hiburan di waktu senggang. Keidealisan ini membuat saya merasa harus membeli buku untuk mendapat bacaan yang saya inginkan.

Share:

Senin, 10 April 2017

Tua Menurut Gabo

Hari Senin dikenal sebagai hari menyebalkan untuk beberapa pekerja. Sebenarnya, saya tidak ingin termasuk dalam golongan pembenci hari Senin, namun beberapa kali saya tidak bisa mengelak tentang Senin yang menyebalkan ketika saya bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan pula di hari pertama setelah libur berharga bagi para pekerja itu. Ketika di suatu Senin saya bertemu dengan mereka yang menyebalkan itu, saya hanya bisa meringis enggan marah dan memilih kabur ke Amerika Latin.





Jangan tertawa saat saya bilang saya memilih kabur ke negeri pembuat film telenovela itu dengan sangat mudah. Ya, pergi kesana semudah saya membuka lembaran novel pendek milik Gabriel Garcia Marquez. Dibalik cover buku berjudul Para Pelacurku yang Sendu itu saya menenggelamkan diri untuk menenangkan amarah agar tidak menumbuh-numbuhkan kebencian yang tidak perlu pada hari Senin. Di buku yang sempat saya tinggalkan tanpa menyentuh halaman akhirnya sejak saya membelinya bulan November tahun lalu, saya menemukan satu kalimat tentang 'tua' menurut tokoh Aku yang diceritakan oleh penulis peraih nobel sastra ini.

Beberapa orang, menganggap tua adalah perihal bertambahnya usia. Semakin banyak angka-angka untuk usia, maka setua itulah dirimu. Padahal, menjadi tua bukan hanya soal usia yang terus bertambah satu-persatu dari tahun ke tahun. Menjadi tua adalah tentang bagaimana pola pikir yang bertambah lalu berubah seiring dengan bertambahnya pula ragam pengalaman hidup. Tokoh Aku dalam buku ini mengalami pergolakan batin saat ia menyadari di usia 90 tahun kesendiriannya itu, ia telah jatuh cinta pada gadis 15 tahun yang dikenalkan padanya oleh Rosa Cabarcas -teman tokoh Aku, pemilik rumah bordir-. Ia menyadari seberapa tua usianya hingga alam sadarnya meminta ia untuk berhenti mengikuti kesenangan sesaatnya saat Rosa Cabarcas menginginkan Aku menikahi si gadis muda sebagai pelipur sepi hari tuanya.
 

“Usia bukan masalah berapa umurmu, tapi bagaimana kau merasakan ketuaan itu.”

Satu kalimat diatas adalah kalimat yang saya temukan saat saya memilih kabur dengan damai dari kebencian pada hari Senin dan membacanya membuat saya ingin menuliskan tentang hal ini hari ini. Saat mengalami hal-hal yang tidak diinginkan seperti hari Senin ini, saya mengingat bagaimana usia telah bertambah hampir seperempat abad membuat saya memberi pilihan pada diri saya untuk membenci keadaanya atau tidak. Dan saya memilih untuk tidak membenci lalu menerima saja kalau Senin terkadang bisa menjadi semenyebalkan ini.
Share: