Kebiasaan membeli buku selalu
dimulai dengan membaca halaman sinopsis yang ada di sampul belakang. Tidak ada
bedanya, ketika saya memutuskan memboyong buku Animal Farm karya George Orwell ini. Dari sinopsis, saya sudah membayangkan cerita
fabel dengan kisah binatang dalam sebuah peternakan yang ingin memerdekakan
diri dari manusia si pemilik peternakan.
Bermula dari seekor babi tua
bernama Major menceritakan mimpi yang ia alami tentang lagu masa kecilnya
berjudul ‘Binatang Inggris’. Isi lagunya tentang tumbangnya tirani Manusia di tangan
binatang. Ia juga bercerita tentang bagaimana binatang ternak yang selalu
bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
“Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengonsumsi tanpa
menghasilkan. Ia tidak memberi susu, ia tidak bertelur, ia terlalu lemah
menarik bajak, ia tidak bisa lari cepat untuk menangkap terwelu. Namun ia
adalah penguasa semua binatang. Manusia menyuruh binatang bekerja, manusia
mengembalikan seminimal mungkin hanya untuk menjaga supaya binatang tidak
kelaparan, sisanya untuk manusia sendiri”. -Major
Cerita Major malam itu
membangkitkan sisi berontak binatang-binatang yang lain dan akhirnya mereka
berhasil merebut peternakan dan menyingkirkan Pak Jones, si pemilik peternakan.
Berturut-turut diceritakan -kalau
dianggap sebuah negara misalnya di Indonesia- mereka
membuat rumusan seperti pancasila yang dalam dunia mereka disebut 7 Perintah. Lalu lagu
“Binatang Inggris” yang dikenalkan oleh Major tua menjadi lagu kebangsaan
mereka. Dan juga bendera berwarna hijau dengan gambar kuku binatang dan tanduk
bercat putih. Kumpulan babi yang dianggap paling cerdas dari seluruh binatang
peternakan itu secara tidak langsung menjadikan mereka sebagai pemimpin
kekuasaan. –Kalau di Indonesia, ini
terlihat seperti seorang Presiden dan Menteri-menterinya-
Sepanjang saya membaca buku ini,
sudah pasti saya membanding-bandingkan sifat binatang-binatang ini dengan manusia. Atau membayangkan jika mereka benar-benar menjadi seperti manusia. Berdagang, belajar membaca atau pergi ke sekolah. Sampai saya tersentak dengan ending
yang benar-benar membuat saya harus menertawai diri sendiri karena salah
menangkap maksud Orwell dalam buku ini.
Pada bab akhir, diceritakan babi
bernama Napoleon yang telah memimpin peternakan, melanggar 7 Perintah yang
tertulis. Sejak awal memimpin, ia memang telah melanggar satu-persatu aturan 7
Perintah itu. Namun yang terakhir, ia melanggar tentang perintah utama yang
juga menjadi semboyan Republik Peternakan, yaitu ‘Apapun yang berjalan dengan
dua kaki adalah musuh’, dan Napoleon bersama babi-babi lainnya mulai berjalan
di atas dua kaki belakangnya, juga mengakhiri perseteruan antara binatang dan
manusia dengan para babi itu duduk bersama peternak saling menikmati permainan
kartu dan bersulang.
Suasana akrab para babi dengan
peternak itu tidak belangsung lama, karena akhirnya mereka kembali berkelahi
karena Napoleon dan Pak Pilkington, salah satu pemilik peternakan, masing-masing
sama-sama memiliki kartu As Sekop. Binatang lain selain babi yang menonton
perkelahian mereka, sudah tak lagi bisa membedakan mana yang babi dan mana yang
manusia karena mereka sama-sama telah berdiri di atas dua kaki.
Hal yang membuat saya menertawai
diri sendiri adalah perihal tadinya saya berpikir buku ini menceritakan tentang
binatang yang bertingkah seperti manusia, pada halaman terakhir saya baru menyadari
kalau pikiran saya ternyata salah. Membaca akhir cerita bagaimana binatang peternakan
selain babi itu tak sanggup membedakan mana manusia dan mana babi, pertanyaan
itu muncul begitu saja di kepala. “Apakah binatang yang bertingkah seperti
manusia, atau manusia yang bertingkah seperti binatang?”. Dan tentu jawabannya
bukan binatang yang bertingkah seperti manusia, kan?